Acara Istiadat Jawa Kehidupan Baru Masa Depan

adat jawa kehidupan

Acara istiadat Jawa selama hidup mencerminkan kekayaan budaya bangsa. Meski pamor kebudayaan Jawa sudah mulai tergusur oleh perkembangan zaman dan pertimbangan efisiensi waktu, tenaga dan biaya atau faktor lainnya, sebagian upacara adat tersebut masih dapat ditemui hingga saat ini. Upacara adat Jawa tergolong merupakan acara seremonial yang cukup lengkap. Upacara adat Jawa tersebut meliputi adat dalam pernikahan, upacara adat saat bayi di dalam kandungan, ketika bayi sudah memasuki usia tujuh bulan dan saatnya “turun tanah”, hingga saat bayi atau balita melangkahkan kaki pertamanya.

Upacara Adat Saat Pernikahan

Pernikahan merupakan langkah paling menentukan dalam meniti masa depan. Bagi masyarakat Jawa, selain pelegalan menurut agama pengesahan sebuah jalinan cinta sepasang kekasih juga perlu ditandai melalui serangkaian upacara adat menggambarkan kesakralan nilai pernikahan.

Pernikahan adalah pondasi untuk membangun rumah tangga dalam membentuk keluarga demi meneruskan garis keturunan oleh karena itu tahapan demi tahapan acara adat Jawa yang dilakukan dalam sebuah proses pernikahan bertujuan untuk menyisipkan hikmah agar prosesi pernikahan tersebut berlangsung selamat dan bahtera rumah tangga pun bertahan lama hingga maut memisahkan.

Adat Jawa saat prosesi pernikahan terbagi dalam empat tahap utama yaitu:

1. Tahap Pembicaraan

Tahap pembicaraan yaitu semacam perkenalan dari kedua belah pihak calon mempelai untuk berkenalan. Dalam acara perkenalan ini pihak calon mempelai pria biasanya membawa buah tangan dan mengajak perwakilan dari keluarga seperti eyang, paman, bibi, sepupu selain orangtua sang calon mempelai.

2. Tahap Kesaksian

Tahap kedua adalah tahap kesaksian, yaitu bertemunya kembali kedua keluarga dari sang calon mempelai untuk prosesi lamaran. Tahap kesaksian ini mencakup adat untuk melakukan serah-serahan yaitu menyerahkan seperangkat perlengkapan yang berfungsi layaknya mahar (namun berbeda dari mas kawin saat akad nikah) yang merupakan permintaan dari calon mempelai wanita atau keluarga calon mempelai wanita.

Serah-serahan ini disebut juga peningset biasanya berupa perhiasan (dengan hikmah yang terkandung agar sang mempelai wanita akan selalu bersinar), perlengkapan pribadi (melambangkan kewajiban suami untuk mencukupi kebutuhan istri), perangkat elektronik (sebagai perlambang mencari nafkah) serta makanan pokok dan buah-buahan (sebagai simbol bahwa kewajiban pria adalah mencukup kebutuhan keluarga).

Di dalam acara tahap kedua ini dikenal juga tahapan Gethok Dino yaitu mencari hari baik untuk melaksanakan akad nikah berdasarkan hitungan primbon Jawa sebagai patokan. Tanggal lahir, hari kelahiran kedua calon mempelai dihitung berdasarkan rumus atau angka patokan yang terdapat pada primbon Jawa untuk kemudian ditemukan hari baik atau pasaran yang baik untuk melakukan akad nikah serta resepsi pernikahan.

3. Tahap Siaga

Tahap Ketiga adalah tahap siaga, di dalam tahapan ini pihak yang berhajat yaitu keluarga mempelai putri akan mengundang para sesepuh keluarga dan membentuk panitia kecil untuk melakukan serangkai acara dan kegiatan yang berkaitan dengan prosesi pernikahan.

Dalam tahap ketiga ini dikenal beberapa proses yaitu sedhahan (berkaitan dengan pembagian undangan), kumbakarnan (merupakan proses pemberitahuan, permohonan bantuan kepada segenap handai taulan yang ditunjuk sebagai panitia dan membuat rincian program kerja selama proses pernikahan), dan jonggolan (proses persiapan pernikahan berupa laporan pada Kantor Urusan Agama).

4. Pernikahan

Tahap Keempat merupakan tahapan pada saat pernikahan berlangsung. Pada tahapan keempat ini dilakukan pemasangan terop/tarub (yaitu tenda besar tempat bernaung para tamu saat berlangsungnya pernikahan sekaligus sebagai pertanda bahwa akan ada hajatan). Terop ini dihias dengan hiasan janur (daun kelapa muda) dan seringkali disertai semacam sesaji seperti nasi gurih, kolak ketan dan kue apem.

Pada tahap keempat disiapkan Kembar Mayang, yaitu hiasan yang berasal dari bunga pohon jambe sebagai lambang kebahagiaan dan keselamatan dilengkapi dengan batang pisang, bambu aur (untuk penusuk sesajen), daun kemuning, buah nanas, bunga melati dan kelapa muda.

Hiasan lain yang perlu dipasang adalah pasren yaitu hiasan dari berbagai jenis tanaman yang mengandung makna tertentu, yaitu:

  • Janur (bermakna doa agar kedua mempelai mendapat nur, cahaya dari Yang Maha Kuasa).
  • Daun kluwih (berharap hajatan tidak mengalami hambatan, rezeki sang mempelai juga linuwih/berlebih).
  • Daun beringin (bermakna agar keinginan, cita-cita mempelai tercapai), seuntai padi (bermakna agar sang mempelai berilmu padi, semakin berisi semakin menunduk atau tidak sombong).
  • Cengkir gadhing (air kelapa muda yang bermakna harapan agar cinta kedua mempelai suci hingga akhir kehidupan).
  • Pisang raja (sebagai harapan sang mempelai memiliki sifat seperti raja yang bijak yaitu mengutamakan kepentingan  masyarakat).
  • Tebu hitam (sebagai perlambang harapan antebing kalbu yaitu mantapnya hati dan tidak akan pernah berselingkuh) dan kembang setaman.

Sehari sebelum akad nikah dan resepsi pernikahan digelar di kediaman calon mempelai putri diadakan upacara siraman, yang bertujuan untuk menyucikan niat calon mempelai wanita sekaligus memohon doa restu kepada orangtua dan para pinisepuh. Air yang digunakan untuk siraman berasal dari tujuh sumber mata air yang ditaburi bunga mawar, melati dan bunga kenanga.

Sang calon pengantin duduk dan menunggu disiram air berhias kembang setaman oleh orangtua dan para sesepuh keluarga menggunakan kendi atau gayung. Dan di akhir upacara kendi tersebut dipecah oleh sang ibu dengan berujar “Niat ingsun ora mecah kendi nanging mecah pamore anakku wadon” konon upacara ini dapat membuat sang mempelai tampak bersinar di pelaminan.

Upacara setelah siraman adalah adol dhawet penjual dawet adalah ibu dari calon mempelai wanita, tamu undangan khusus dapat membeli dawet dengan pecahan genting yang berfungsi seolah sebagai uang. Tujuan upacara ini adalah berharap agar keesokan hari saat akad nikah dan resepsi digelar akan diramaikan banyak tamu.

Pada malam hari sebelum dilakukan prosesi pernikahan calon mempelai wanita menjalani upacara midodareni, didandani secantik bidadari sebagai perlambang telah siap lahir batin untuk pernikahan esok hari.

Setelah akad nikah, serangkaian adat dalam upacara panggih sebagai bagian dari acara isitadat Jawa selama hidup masih harus dilakukan. Rangkaian adat itu berupa tukar kembang mayang antarpengiring pengantin sebagai simbol menyatukan niat untuk menggapai kebahagiaan.

Gantal yaitu sang mempelai saling melempar daun sirih yang digulung dan diikat sebagai simbol mengusir segala godaan yang dapat menerjang pernikahan, Ngidak Endhog yaitu kaki sang suami menginjak telur ayam hingga pecah dan dibersihkan oleh sang wanita sebagai simbol pecahnya pamor kedua mempelai sekaligus bentuk bakti istri kepada suami serta harapan agar keturunan meerka berdua kelak dijauhkan dari segala bentuk perbuatan hina.

Serangkaian adat pernikahan ini ditutup dengan beberapa adat yang dilakukan di atas pelaminan, yaitu Timbangan. Pada prosesi ini ayah sang mempelai wanita memangku menantu pria di paha kanan dan anak wanitanya di paha kiri sebagai perlambang kedua pengantin sudah seimbang.

Kacar-Kucur yaitu mempelai pria mengucurkan uang receh ke pangkuan istri sebagai simbol kewajiban menafkahi, Dulangan sebagai simbol kedua mempelai telah sah memadu kasih dan sungkeman kepada orangtua sebagai bentuk bakti anak kepada orang tua dan mertua tanpa ada bedanya.


Jangan sampai ketinggalan informasi Tradisi Nusantara di Lentera Budaya:


Upacara Adat Kehamilan dan Kelahiran di Jawa

Acara istiadat Jawa selama hidup tidak hanya di saat pernikahan, namun saat pasangan suami istri menanti bayi dalam kandungan. Upacara- upacara adat Jawa yang terkait dengan kehamilan, kelahiran, dan pertumbuhan bayi memegang peranan penting dalam budaya Jawa. Selain sebagai suatu bentuk ungkapan syukur atas anugerah kehidupan, upacara-upacara ini juga memiliki makna spiritual dan sosial yang dalam bagi masyarakat Jawa. Mari kita bahas lebih dalam mengenai acara-acara istiadat tersebut:

Mitoni atau Tingkeban

Mitoni atau Tingkeban adalah upacara adat yang dilakukan ketika kandungan sang ibu berusia tujuh bulan. Pada saat ini, biasanya keluarga dan kerabat mendekatkan diri untuk memberikan dukungan dan doa agar proses kelahiran berjalan lancar. Salah satu bagian penting dari upacara ini adalah siraman, di mana sang ibu mandi dengan air bunga dan rempah-rempah. Tujuan dari siraman ini tidak hanya sekadar membersihkan tubuh, tetapi juga diyakini memiliki nilai spiritual yang dapat membawa keberuntungan dan perlindungan bagi sang ibu dan bayi yang dikandungnya.

Selapanan

Selapanan adalah upacara adat yang dilakukan ketika bayi berusia sekitar empat puluh hari setelah kelahirannya. Upacara ini menandai akhir dari masa pantang sang ibu dan merupakan momen untuk mengumumkan nama bayi kepada keluarga dan kerabat. Sebelumnya, terdapat upacara sederhana yang disebut cuplak puser, di mana tali pusat bayi dilepaskan dengan sendirinya. Selapanan biasanya diwarnai dengan berbagai tradisi, seperti pemberian makanan khas dan sesaji kepada leluhur, serta ucapan syukur atas kelahiran bayi yang sehat.

Turun Tanah

Turun Tanah adalah upacara adat yang dilakukan ketika bayi berusia tujuh bulan dan dianggap aman untuk mulai belajar merangkak. Pada upacara ini, bayi diturunkan dari gendongan dan diletakkan di atas tanah atau permadani sebagai simbol bahwa bayi telah siap untuk menginjak bumi dan menjalani perjalanan hidupnya di dunia ini. Turun Tanah juga merupakan momen untuk mengenalkan bayi kepada lingkungan sekitarnya serta mendapatkan doa dan restu dari keluarga dan kerabat.

Makna dan Nilai Budaya

Acara-acara istiadat Jawa yang terkait dengan kehamilan, kelahiran, dan pertumbuhan bayi tidak hanya sekadar serangkaian ritual, tetapi juga merupakan bagian dari warisan budaya yang kaya dan berharga. Setiap upacara memiliki makna dan simbolisme yang dalam, serta mengandung pesan-pesan moral dan nilai-nilai kehidupan yang penting untuk dijunjung tinggi. Selain itu, upacara-upacara ini juga menjadi ajang untuk mempererat hubungan antara anggota keluarga dan menjaga keharmonisan dalam masyarakat Jawa.

Dengan demikian, upacara Mitoni, Selapanan, dan Turun Tanah merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat Jawa yang kaya akan tradisi dan kepercayaan. Melalui rangkaian upacara ini, diungkapkan rasa syukur atas anugerah kehidupan, serta dijaga dan dilestarikan nilai-nilai budaya yang telah turun-temurun dari generasi ke generasi.

Namun kini hanya sebagian kecil dari rangkaian acara istiadat Jawa selama hidup yang masih dapat kita temui meski sebagian keluarga Keraton Jogja dan Solo, selebritas atau pengusaha berdarah Jawa tetap melestarikan adat istiadat ini sekadar melestarikan budaya bangsa.

Anda telah membaca artikel tentang "Acara Istiadat Jawa Kehidupan Baru Masa Depan" yang telah dipublikasikan oleh Lentera Budaya. Semoga bermanfaat serta menambah wawasan dan pengetahuan. Terima kasih.

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.