Ronggeng selalu dicap sebagai profesi yang tidak ada bedanya dengan wanita penghibur. Stereotip negatif itu ingin dikikis dengan bahasa seni melalui Karesmen Tari Ronggeng Midang oleh Endang Caturwati, doktor bidang budaya asal Jawa Barat. Bahwa seorang ronggeng bisa sukses karena kemampuannya, bukan karena menjual kemolekan fisik semata.
Karesmen Tari Ronggeng Midang
Pengertian Gending Karesmen adalah kesenian drama khas Sunda yang dialog-dialognya dinyanyikan disertai iringan karawitan. Gending karesmen berasal dari kata gending yang berarti berbagai jenis lagu dan karesmen yaitu keindahan yang dihasilkan dari waditra atau gamelan.
Seorang penari muda keluar ke panggung. Gerakannya gemulai, namun wajahnya menyiratkan kegelisahan dan kekecewaan. Dia adalah penari ronggeng yang tengah menangisi stereotop negatif yang dialamatkan kepadanya.
Konstruksi sosial berbicara ronggeng diakui atau tidak memang lekat dengan kesan negatif. Masyarakat masih memandang ronggeng tidak ada bedanya dengan perempuan penghibur. Bahkan seringkali ronggeng dicap sebagai profesi murahan.
Pertunjukan Karesmen Tari Ronggeng Midang mencoba menjelaskan kepada masyarakat, apa dan siapa ronggeng itu. Dr Endang Caturwati sengaja mementaskan karya berupa drama tari untuk membuktikan kesalahan stereotip negatif tentang ronggeng. Lulusan UGM ini mencoba menyadarkan masyarakat melalui sebuah cerita tentang kesuksesan seorang ronggeng tanpa harus memelacurkan diri.
Drama tari diawali dengan kegundahan seorang ronggeng muda. Karena himpitan ekonomi, dia terpaksa menjadi ronggeng. Namun di tengah perjalanannya, kerapkali ronggeng muda mendapatkan caci dan makian. Dia sering dituduh sebagai dalang rusaknya rumah tangga orang lain.
Pertunjukan pun dilanjutkan dengan munculnya dua ronggeng tua yang datang untuk menghibur dan membangkitkan semangat ronggeng muda. Dua ronggeng tua menceritakan kesuksesan para ronggeng yang diperoleh karena kemampuannya bukan mutlak faktor fisik.
Berkat kepiawaian menari, mereka akhirnya dipersunting kalangan bangsawan. “Aku dinikahi bangsawan bukan karena aku macam-macam. Tetapi karena suara dan gerakanku,” ujar salah seorang ronggeng tua kepada ronggeng muda.
Durasi karesmen tersebut dua jam. Sebagian besar pertunjukan bertutur tentang berbagai ronggeng yang ada di Jawa Barat. Seperti Badaya Wirahmasari, Tari Tayub, Tari Ketuk Tilu Cikeruhan dan Jaipongan. Seakan Endang ingin menuturkan bahwa ronggeng adalah hal yang penuh dengan keindahan dan pesona. Namun, tidak selalu yang indah itu harus disentuh, hanya perlu dilihat.
Beberapa penonton yang hadir juga sempat memberi uang atau sawer. Namun seperti dikatakan dalam drama tari itu, uang atau sawer yang diberikan kepada ronggeng adalah penghargaan untuk kepiawaian sang penari, dan bukan sebagai bayaran kencan.
Dalam karya yang dipertunjukkan dalam acara Seni dan Budaya Sunda, Endang bertekad untuk memberikan bukti nyata tentang kesuksesan ronggeng terletak pada kemampuan menari dan menyanyi. Hal itu dia coba gambarkan lewat karyanya yang mengisahkan kisah sang legenda ronggeng Jawa Barat Titin Fatimah. Dia adalah sosok legenda sinden Jawa Barat era 1960-an.
Diceritakan, berkat kesempurnaan suara dan kecantikan fisik, Titin Fatimah telah menjadi legenda yang tidak terlupakan di Jawa Barat. Bahkan dalam pertunjukan wayang golek, terkadang sang dalang harus berganti posisi dengan Titin. Suaranya yang merdu mampu menggantikan pertunjukkan wayang.
Sebagai penegasan akan pesan yang ingin disampaikan penonton, Endang menutup karesmen karyanya dengan penampilan sejumlah penari yang membawakan jaipongan Kembang Tanjung karya Gugum Gumbira. Seorang seniman Jawa Barat yang berhasil menggebrak dunia tari Indonesia dengan tari jaipongan yang penuh dengan gerakan-gerakan rancak.
Yuk, baca artikel yang sesuai dengan bahasan ini: Tradisi Manten Sapi Masyarakat Pasuruan Menjelang Idul Adha
Kembang Tanjung jaipongan dibawakan oleh lima ronggeng cantik. Mereka menari dengan gerakan cepat namun indah. Seolah para penari jaipongan berkejar-kejaran dengan irama musik yang mengiringiya. Yah, pertunjukan yang rancak, indah, eksotik namun jauh dari kesan seronok. Akibatnya, beberapa orang dari ratusan penonton yang hadir tidak kuasa menahan diri untuk ikut turun dan menari bersama para ronggeng.
Menurut Endang, jawaban terhadap berbagai tudingan negatif ronggeng harus dilakukan. Sebab jika tidak, bisa menyebabkan generasi muda takut untuk terjun dalam profes ini. Dalam disertasinya, sebagian besar ronggeng memilih menyebut dirinya sebagai sinden yang lebih mempunyai citra positif dibandingkan ronggeng. Jika kesan negatif tidak dikikis, ditakutkan seni asli Jawa Barat ini punah.