Masjid Hidayatullah: Oase Spiritualitas Tiga Budaya

masjid hidayatullah jakarta

TERIK matahari siang itu terasa sangat panas. Di  sepanjang Jalan Sudirman, Jakarta, mobil-mobil menderu. Sejumlah gedung jangkung di kompleks bisnis mewah ini terasa menambah ruwet suasana. Sementara di trotoar orang lalulalang dengan peluh membasahi tubuh. Sampai di ujung Semanggi tiba-tiba suara azan dari dua pengeras suara di pojok jalan.

Masjid Hidayatullah Jakarta Selatan

Arsitekturnya unik. Spriritualitas tiga budaya menunjang inspirasi bangunannya. Itulah Mesjid Hidayatullah di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan.

Dari kejauhan tampak sebuah mesjid tua. Bangunan itu tampak menyisakan sejarah yang panjang. Rumah Tuhan yang lebih dikenal dengan nama Hidayatullah itu memang menyimpan catatan unik. Letaknya nylempit agak ke dalam. Dua bangunan megah, menara Bank Danamon dan Rumah Sakit Jakarta, mengepungnya. Ternyata  mesjid ini pernah akan digusur. Demi sebuah bangunan bisnis, yaitu Bank Danamon, waktu itu Hidayatullah harus diratakan dengan tanah. Untung Pemerintah DKI Jakarta turun tangan. “Ketika itu  bahkan sampai menggunakan sejumlah preman segala. Kami bersama masyarakat kampung Karet menentangnya. Tapi, alhamdulillah mesjid ini dapat kami pertahankan sampai sekarang. Tetapi, lebih dari lima mesjid di sekitar sini sudah rata dengan tanah,” kenang Kyai Haji Nawawi, sesepuh mesjid Hidayatullah.

Menaranya menjulang tidak begitu tinggi. Memasuki mesjid ini Anda akan segera disongsong oleh hawa sejuk. Sebuah pintu besar di bagian depan merupakan pintu utama. Di dalam mesjid terdapat empat tiang besar yang kokoh, sementara di langit-langit tampak ragam hias ukir khas Jawa yang menghubungkan ke empat tiang utama. Sebuah mimbar antik berukir untuk khutbah terletak di samping mihrab.

Dulu, kawasan Karet di Jakarta Selatan dikenal sebagai perkampungan buruh. Banyak pekerja dari berbagai daerah datang ke sini. Berbagai etnis  bercampur gaul: Jawa, Bugis, Cina, Belanda. Selain bekerja di perkebunan karet, ada d antaranya yang bekerja di pabrik batik. Bahkan sampai kini di kawasan itu masih ada beberapa pabrik batik corak Betawi. Selain mesjid tua, di sana juga ada sebuah kuil antik yang masih berdiri megah. Letaknya tak begitu jauh dari Mesjid Hidayatullah. “Adanya kuil Cina itu menandakan dulunya kampung ini sangat ramai. Tidak hanya orang Betawi saja yang tinggal, tetapi juga orang Jawa, Bugis bahkan juga Cina dan Belanda,” tutur Nawawi.

Menurut cerita dari mulut kemulut, dulu tanah milik mesjid Hidayatullah sangat luas, tak kurang dari 2000 M2. Belakangan, gara-gara pelebaran sungai Krukut, luas tanah milik wakaf mesjid menjadi menyempit. Apalagi sekarang. Sejumlah gedung jangkung yang menjulang dan jalan raya yang ramai semakin mempersempit mesjid Hidayatullah. “Mesjid ini dulu kenal sebagai Mesjid Karet, didirikan di tanah wakaf orang Bugis bernama Muhammad Yusuf pada tahun 1747. Dia bekerja sebagai pembantu pada seorang Belanda,” lanjut Nawawi.

Arsitektur Hidayatullah memang unik. Tiga budaya  etnis sekaligus menyemangati spiritualitasnya: Jawa, Cina Betawi. Arsitektur Betawi dapat dilihat dari bentukmesjid yang lapang dan terbuka. “Adanya kekhasan Betawi ini juga kita jumpai pada bangunan kayu yang tetap ada dan kuat sampai saat ini,” tambah Nawawi. Atap dan kubah mesjidyang melengkung di bagian sudut memperlihatkan budaya Cina. Sementara budaya Jawa pada bangunan dua menaranya.

Orang-orang Cinalah yang pertama-tama mukim di Karet. Itu sebabnya di kawasan itu ada sebuah kampung yang dinamakan Karet Tengsin. Bahkan menurut cerita, orang-orang Cina, yang kebanyakan adalah pedagang, waktu itu banyak yang membantu pembangunan mesjid ini. Pengaruh budaya Cina sangat menonjol. Dari kejauhan, mesjid ini tampak sepert kuil Cina. Beberapa mesjid di Jakarta banyak yang dipengaruhi oleh budaya Cina. Yang paling jelas ialah mesjid Mangga Dua dan mesjid Kebon Jeruk di Jakarta pusat. Dan memang, komunitas Cina banyak menghuni dua kawasan tersebut, sampai sekarang.

Menurut KH Nawawi, bangunan mesjid Hidayatullah mempunyai banyak perlambang. Dua menara melambangkan dua kalimah syahadat, sedangkan empat undakan pada mimbar khatib melambangkan keikhlasan. Sementara tiga atapnya melambangkan tiga makna yaitu Iman, Islam dan Ikhsan. “Adanya empat undakan pada mimbar melambangkan kerukunan dan keikhlasan. Mungkin rasa ikhlas saling membantu di antara warga yang terdiri dari berbagai suku dan bangsa,” tutur Nawawi.

Kegiatan keagamaan di mesjid ini cukup ramai. Setiap malam Jum’at ada zikir bersama, tidak hanya diikuti oleh warga  setempat saja, tapi bahkan jemaah dari berbagai kawasan juga berdatangan, seperti Bekasi, Tangerang, Madiun, Surabaya. Mereka berpendapat, zikir di mesjid itu membawa berkah tersendiri. Beberapa jemaah malah mengaku berdoa di mesjid ini sangat makbul. “Banyak yang berpendapat, berdoa di sini akan mudah dikabulkan,” ujar Nawawi.

Mesjid Hidayatullah kini menjadi salah satu cagar budaya di Jakarta. Keberadaannya dilindungi oleh undang-undang. Kalau suatu saat Anda lewat di Jalan Sudirman, mampirlah untuk sejenak salat sunat di sana. Juga berzikir, siapa tahu makbul. Selain itu, arsitekturnya yang indah mungkin dapat memberikan inspirasi di tengah hiruk-pikuk kota metropolitan Jakarta. Tak berlebihan jika mesjid ini boleh dibilang bak oase yang menyegarkan.


Artikel Khazanah lain yang menarik untuk dibaca:


Dari Karet Hingga Kebon Jeruk

Mesjid-mesjid kuno di Jakarta bisa dikelompokkan menjadi dua. Pertama, mesjid yang memperlihatkan pengaruh Sunda-Jawa, yang ditandai oleh angunan dasar berupa bujur sangkar yang dikelilingi oleh serambi. Model ini mengingatkan kita pada gaya tradisonal candi-candi tua di Jawa. Kedua, mesjid yang memperlihatkan gaya klasik terkadang ditambah dengan dua menara.

Pengaruh budaya tampak pada beberapa mesjid: mesjid Kebon Jeruk, Muara Angke, Langgar Tinggi, Bandengan Selatan, Semanggi. Ini menunjukkan dengan jelas semangat asimilasi yang ikhlas, terutama ketika beberapa orang Cina memeluk Islam. Dalam catatan C.I Salmon dan Dennis Lombaard disebutkan, banyak orang-orang Cina mengganti nama mereka dengan nama muslim ketika mereka memeluk Islam. Bahkan pada 1785 beberapa peranakan Cina mengajukan permohonan resmi kepada Pemerintah Hindia Belanda supaya boleh mendirikan sebuah mesjid bagi keperluan mereka sendiri.

Hasil inisiatif mendirikan mesjid sendiri bagi peranakan Cina itu, yang tentu saja juga buat etnis lain, antara lain mesjid Krukut, Kebon Jeruk, dan Tambora yang dibangun pada paruh abad ke-18. Mesjid Kebon Jeruk di Jalan Hayam Wuruk yang didirikan tahun 1792 sangat kental dengan budaya Cina. Lihatlah misalnya makam-makam di belakang mesjid. Huruf Arab digunakan untuk mencatat nama dan tanggal seseorang yang wafat, namun disertai dengan hiasan kepala naga dan ornamen khas Cina. Itu adalah kuburan Nyonya Tjay.

Mesjid Kebon Jeruk didirikan oleh Tuan Tschoa atau dikenal dengan nama Tamien Dosol Seng, seorang tokoh  Cina yang terpilih oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai “Kapitein” di kalangan masyarakatnya. Sayang, unsur-unsur kasliannya mulai memudar. Empat tiang kokoh di tengah bangunan dan jendela-jendela berukir di atas pintu tua masih asli. Namun, ubin-ubin bergambar manusia dan binatang yang pernah terpasang di tembok mesjid, hilang (Huda-Arsip alKisah/FT: berbagai sumber).

Anda telah membaca artikel tentang "Masjid Hidayatullah: Oase Spiritualitas Tiga Budaya" yang telah dipublikasikan oleh Lentera Budaya. Semoga bermanfaat serta menambah wawasan dan pengetahuan. Terima kasih.

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.