Candi Tebing Gunung Kawi, Ubud – Bali

candi tebing gunung kawi bali

Candi Tebing Gunung Kawi (CTGK) diduga kuat didirikan pada abad ke XI Masehi dan dikaitkan fungsinya sebagai tempat pemujaan Raja Anak Wungcu (1050 – 1977 M) dipahatkan pada satuan massa batu padas masif dan kokoh. Hal tersebut mengakibatkan bahwa Candi Tebing Gunung Kawi sebagaimana candi-candi tebing lain baik di Bali maupun di P. Jawa tidak terlalu memerlukan perawatan dan pemeliharaan yang rumit, seperti halnya candi di alam terbuka (open sites environment).

Bangunan Candi Tebing Gunung Kawi Bali

Candi Tebing Gunung Kawi di Ubud, Bali ini bukan bangunan tunggal karena paling tidak sampai saat ini dapat dikenal tiga kelompok bangunan, yakni:

  1. “Royal Tombs” atau sering disebut sebagai kubur raja-raja merupakan lima candi di-pahat berderet arah barat-laut tenggara, di utara aliran sungai, yang sebenarnya merupakan bagian depan candi. Setiap candi dilingkupi ceruk setinggi +- 7 meter.
  2. “Queens Tombs” atau kubur ratu ratu terdiri empat candi di-pahat berderet dengan orientasi sama dengan “Royal Tombs”, terletak di sebelah selatan aliran sungai Pakerisan.
  3. “Cloister” atau petapaan/pertapaan terletak di sebelah tenggara bangunan pertama.

Seluruh bangunan ini masing-masing memiliki halaman dan khusus bangunan yang terakhir memiliki kamar-kamar dan ceruk relung. Salah satu candi yang terletak agak jauh di sebelah barat laut, letaknya relatif lebih tinggi daripada bangunan lainnya, dipisahkan oleh tiang tegak di atas batu. Di atas pintu semu candi terakhir ini, dipahatkan tulisan yang trasliterasinya berbunyi: “haji lumah ing jalu “, yang maksudnya mungkin berarti Sang Raja yang dimakamkan di Jalu (Sungai Pakerisan) yaitu Anak Wungcu.

Ditemukannya batu “peripih” di percandian Gunung Kawi ini, menguatkan dugaan bahwa tidak terdapat perbedaan esensial antara candi-candi pahatan dan candi-candi yang seperti biasanya didirikan dalam wujud susunan batuan candi (prasadha). Boleh jadi masalah pokoknya adalah relief-relief penghias dan seluruh pahatan candi itu sendiri, jauh lebih aman dari berbagai gangguan/kerusakan daripada candi/bangunan yang didirikan di udara terbuka.

Candi-candi pahatan tersebut memiliki kenampakan pahatan lingga di atas yoni, sama halnya dengan tipe candi-candi baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur, termasuk struktur atap bertingkatnya. Peripih yang ditemukan dalam ekskavasi di situs Gunung Kawi tidak meninggalkan bukti adanya sisa jenasah (tulang) atau penjenasahan (abu) sehingga percandian tebing Gunung Kawi ini belum dapat dianggap sebagai monumen penguburan.

Boleh jadi percandian ini didirikan untuk memperingati kematian, kebebasan atau kebangkitan kembali seseorang tokoh penting, misalnya raja. Di situs ini pun sampai saat ini belum ditemukan patung/arca perwujudan.

Raja Anak Wungcu

Menurut tradisi tulis (prasasti), anak Wungcu adalah anak lelaki bungsu dari Mahendradatta dan Udayana, yang juga masih bersaudara dengan Airlangga, raja Jawa Timur yang terkenal dan menjadi anak menantu dari raja Dharmawangsa. Raja Anak Wungcu mengeluarkan paling tidak 14 prasasti. Pada masa pemerintahannya ini diberitakan bahwa lambat-laun pengaruh Jawa Timur atas wilayah Bali menjadi berkurang dan semakin menghilang. Mungkin raja-raja yang memerintah sesudahnya, kembali didominasi oleh putera-putera Bali sendiri.

Dr. W.F. Stutterheim, menduga bahwa bangunan-bangunan candi tersebut dipersembahkan bagi satu permaisuri dan empat isterinya yang lain, sementara yang disebut dengan makam kesepuluh, yang oleh penduduk setempat disebut dengan griya pedanda, sementara di atas pintu “makam” ini dituliskan rakryan. Boleh jadi bangunan ini ditujukan untuk menghormati perdana menterinya Raja Anak Wungcu.


Artikel Khazanah lain yang menarik untuk dibaca:


Boleh jadi Candi Tebing Gunung Kawi memang bukan bangunan makam (makam-makam) dan karenanya dianggap sebagai bangunan pemujaan atau didirikan untuk memperingati seseorang raja. Bangunan “Patapan” pun, mungkin merupakan salah satu indikator fungsi candi Tebing Gunung Kawi, sebagai tempat bertapa calon raja atau raja yang telah lanjut usia dalam rangka penyucian diri dari keduniawian, atau mungkin pula pertapaan yang digunakan oleh orang lain.

Yang jelas Candi Tebing Gunung Kawi dan candi pahatan lain di Bali dan juga di Jawa Timur, memperlihatkan luasnya pilihan bagi para artis/seniman masa lalu dalam menerapkan konsep rancang bangun yang bersifat sakral, dengan pola-pola adaptief. Hal yang sama tampak penerapannya di India, seperti di Ajanta, Ellora, Elephanta, Karli dan sebagainya.

Kompleks Candi Tebing Gunung Kawi di Ubud, Bali ini, sebagaimana halnya dengan objek-objek wisata budaya penting lain yang ada di Pulau Bali, untuk “mendekati” lokasi Candi Tebing, siapapun dapat mencapainya dengan mudah karena dapat digunakan berbagai macam jenis kendaraan. Setelah itu dimulailah sedikit “petualangan” memasuki kompleks tersebut, yang unit-unitnya dipisahkan oleh tebing dan aliran sungai Pakerisan. Dilihat dari segi apa pun, kompleks Candi Tebing Gunung Kawi memiliki potensi untuk dapat dikembangkan sebagai salah satu objek wisata budaya yang bermasa depan baik.

Anda telah membaca artikel tentang "Candi Tebing Gunung Kawi, Ubud – Bali" yang telah dipublikasikan oleh Lentera Budaya. Semoga bermanfaat serta menambah wawasan dan pengetahuan. Terima kasih.

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.