Masjid dan Makam Sunan Muria: Hasil Toleransi Wali Pertapa

masjid dan makam sunan muria

Sekitar 18 km sebelah utara kota Kudus, di sebuah desa kecil bernama Calo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, dahulu bermukim seorang waliyullah. Ia salah seorang dari Walisanga yang bergelar Sunan Muria. Gelar ini dilekatkan padanya karena ia memfokuskan kegiatan dakwah Islam di kaki Gunung Muria. Untuk itu, beliau membangun pesantren dan sebuah masjid di puncak gunung itu.

Makam dan masjid Sunan Muria

Pesantren tersebut terletak persis di belakang masjid yang telah dibangunnya lebih awal. Nama asli Sunan Muria adalah Raden Umar Said. Desa kecil Calo itu, dari dulu hingga kini, menjadi terkenal dan ramai diziarahi berkat adanya makam Sunan Muria di sana.

Dewasa ini, masjid buah tangan Sunan Muria praktis hanya menyisakan sedikit bagian yang orisinal. Itu pun tak luput dari sentuhan pemugaran. Saat ini masjid tersebut dibagi dua: bagian khusus untuk kaum pria dan bagian khusus untuk puak wanita. Pada masjid untuk pria masih ditemukan peninggalan asli Sunan Muria berupa mihrab, empat buah umpak batu (tempat penyangga tiang masjid) yang diangkut dari Pulau Bali, dan sebuah beduk (gayor). Adapun masjid yang khusus untuk wanita direnovasi pada 1976.

Makam dan masjid Sunan Muria terletak di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut. Untuk mencapai lokasi itu, sejak lama orang mesti berjalan kaki, menerobos melalui jalan setapak. Baru belakangan ini tersedia ojek sepeda motor yang siap mengantar pengunjung ke sana.

Gunung itu dinamai Muria, dan sering diidentifikasi dengan nama sebuah bukit di Palestina, Bukit Moriah. Menurut cerita, Nabi Daud dan putranya, Nabi Sulaiman, membangun sebuah rumah ibadah (kenisah) di puncak Gunung Moriah. Jadi, jika kota Kudus dapat dikaitkan dengan berdirinya Masjid Al-Aqsha, nama Muria memiliki asosiasi yang kuat dengan Bukit Moriah di Baitul Maqdis atau Yerusalem Darussalam.

Memasuki pintu gerbang makam, terlihat pemandangan 17 batu nisan. Menurut juru kunci, itu adalah makam para prajurit dan punggawa keraton. Makam Sunan Muria sendiri terletak di batas utara pelataran, di dalam bangunan cungkup makam beratap sirap dua tingkat. Pada sisi timur terdapat nisan yang konon adalah makam putri Sunan Muria yang bernama Raden Ayu Nasiki.

Di sebelah barat dinding belakang Masjid Muria, terdapat makam Panembahan Penghulu Jogodipo, yang disebut-sebut sebagai putra sulung Sunan Muria. Ia adalah putra Dewi Saroh – adik kandung Sunan Giri, sekaligus anak Syaikh Maulana Ishak – dengan Sunan Kalijaga. –

Perubahan secara Gradual

Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga; namun, berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agam Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang, dan melaut adalah kesukaannya.

Sunan Muria juga sering dijadikan penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-30). Beliau memang dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah, betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana, hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu karya dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanthi.

Raden Umar Syaid atau Raden Said, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sunan Muria, adalah salah seorang dari kesembilan wali yang dikenal di Jawa. Dalam riwayat dikatakan, putra Sunan Kalijaga ini, dari perkawinannya dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngudung, yang tak lain kakak Sunan Kudus, memperoleh seorang putra yang diberi nama Pangeran Santri – yang kemudian mendapat julukan Sunan Ngadilangu.

Sunan Muria juga terhitung salah seorang penyokong Kerajaan Bintoro yang setia. Beliau memang ikut mendirikan Masjid Demak; tapi, semasa hidupnya dalam menjalankan dakwah keislaman, Sunan lebih suka berdakwah di desa-desa yang jauh letaknya dari kota atau pusat keramaian. Ulama ini lebih suka menyendiri, tinggal di desa dan hidup bergaul di tengah-tengah rakyat jelata, sambil mendawahkan agama Islam di lereng Gunung Muria.


Artikel Khazanah lain yang menarik untuk dibaca:


Cara beliau berdakwah, antara lain, mengadakan kursus-kursus terhadap kaum dagang, nelayan, dan rakyat jelata. Beliaulah kabarnya yang mempertahankan alat musik gamelan sebagai satu-satunya seni Jawa yang sangat efektif untuk memasukkan nilai-nilai keislaman, ketauhidan (untuk selalu mengingat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa) ke dalam hati rakyat.

Salah satu keberhasilan dakwah Sunan Muria – sebagaimana para wali lainnya – terletak pada kemampuannya memahami kondisi sosiologis masyarakatnya. Beliau tidak berkompromi dalam soal tauhid. Namun dalam hal lainnya, terutama yang berkaitan dengan kebiasaan sehari-hari masyarakat, beliau sangatlah toleran.

Dengan perspektif itu, perubahan secara gradual, bertahap, dan tanpa konflik yang berarti, telah menjadi ciri khas kekuatan dakwahnya. Tradisi masyarakat, bagi Sunan, hakikatnya adalah sebuah media yang bisa digunakan untuk kepentingan berdakwah. Maka selama ia tidak bertentangan dengan tauhid, dan bisa diisi dengan ruh Islam, perlu dipelihara dan dimanfaatkan.

Sunan yang satu ini, yaitu Sunan Muria mempertahankan alat musik gamelan sebagai satu-satunya seni Jawa yang sangat efektif untuk memasukkan nilai-nilai keislaman, ketauhidan, ke dalam hati rakyat. Dan berhasil!

 

Masjid dan Makam Sunan Muria: Hasil Toleransi Wali Pertapa

Anda telah membaca artikel tentang "Masjid dan Makam Sunan Muria: Hasil Toleransi Wali Pertapa" yang telah dipublikasikan oleh Lentera Budaya. Semoga bermanfaat serta menambah wawasan dan pengetahuan. Terima kasih.

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.